SEJARAH AIRMATA SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU TIMOR

Airmata merupakan nama salah satu dari 3 kawasan pemukiman muslim di kota Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Airmata disini memiliki dua makna, yaitu pertama kawasan ini memang merupakan sumber mata air sungai yang membelah kota Kupang dan kedua, di tempat inilah banyak airmata yang tumpah akibat kekejaman penjajah Belanda dan Jepang. Setidaknya ada beberapa Ulama yang ditangkap dan diasingkan kompeni Belanda hingga mereka wafat dan di makamkan di sini, diantaranya: Kiyai Arsyad asal Banten, Dipati Amir bin Bahren asal Bangka (Bangka Belitung), Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren (juga dari Bangka Belitung), dan Sultan Dompu bernama Muhamad Sirajudin asal Bima. Mereka kemudian juga menjadi penyebar Agama Islam di Kupang dan sekitarnya. Makam para ulama itu terletak berdekatan dalam sebuah kompleks yang dikenal dengan nama Kuburan Batu Kadera. Di pekuburan ini pula terdapat makam Habib Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Gadri (wafat tahun 1899), salah seorang penyebar agama islam di Kupang.

            Airmata merupakan pusat penyebaran Agama Islam di Pulau Timor. Menurut tokoh masyarakat Kupang asal Papela, Pulau Rote, Darso Bakuama, dibanding wilayah Nusantara lainnya, Islam terbilang agak terlambat masuk ke wilayah ini. Karena itu tidak heran kalau umat Islam di kota ini terbilang minoritas. Sebuah wilayah di tengah kota Kupang bernama Airmata, bisa dipastikan menjadi titik sentral objek ziarah di sini. Dari namanya, sudah bisa dipastikan kalau wilayah ini memiliki identitas, dialek atau logat melayu yang khas, berbeda dari seluruh nama wilayah di kota ini yang biasanya berawalan oe (air), seperti Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenlain dan masih banyak lagi oe-oe lainnya.

Di Airmata terdapat sebuah masjid tertua yang ada di Pulau Timor. Masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Al Baitul Qadim (rumah pertama) yang sudah berusia sekitar 200 tahun itu dibangun diatas tanah hibah Sya’ban bin Sanga pada 1806 bersama dengan Kyai Arsyad (tokoh pergerakan Banten yang dibuang Belanda ke Kupang), Sultan Badarruddin dan rakyatnya dan juga bantuan dari penduduk setempat yang beretnis Timor. Masjid Al-Baitul Qadim dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam pada saat itu hingga sampai ke Timor Portugis (Timor Leste sekarang). Dari sinilah tersebar dakwah Islamiyah di Pulau Timor melalui tangan putra-putra Mananga ini atas seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sya’ban bin Sanga merupakan Imam yang pertama bagi kaum Muslimin di Pulau Timor karena ia merupakan warga Muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor dalam pelayarannya dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. Syahban bin Sanga Kala berasal dari Mananga, sebuah kampung di Pulau Solor bagian barat. Dia datang bersama rombongan Kesultanan Mananga dibawah Pimpinan Sultan Badarrudin yang di pindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari negeri asalnya yaitu Desa Menanga, Pulau Solor, NTT. Inilah awal masuknya Islam ke Pulau Timor.

Menurut Munandjar Widiyatmika, peneliti masuknya agama Islam di NTT, Islam masuk pertama kali di NTT mulai dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur pada abad ke-15. Dimulai dari Mananga, Pulau Solor dilakukan oleh para pedagang yang juga Ulama dari Palembang, Sumatera selatan, ulama tersebut bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. karena pertama kali membawa misi penyebaran agama Islam di NTT dari Mananga, Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. Dari Mananga, Islam kemudian perlahan-lahan masuk ke Pulau Flores, Alor dan Kupang seperti di Airmata itu. Dapat dipahami bila kemudian penyebar Islam pertama di daerah Airmata, Kupang adalah Ulama yang berasal dari Mananga, karena memang Islam di Pulau Timor bermula masuk dari sana.

Sebagai Imam ketika itu Sya’ban bin Sanga memiliki wewenang untuk mengatur segala hal yang menyangkut urusan keagamaan. Dan kemudian pembagian ini dikenal oleh masyarakat Airmata dengan sebutan “Kampung Imam” yang bermakna wilayah kebijakan Imam. Adapun Sultan Badaruddin mengatur masalah kepemimpinan secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan pertimbangan Sya’ban bin Sanga sebagai Imam Kesultanan. Wilayah kebijakan dan kekuasaan Sultan Badaruddin ini dikenal dengan istilah “Kampung Raja”. Dalam menjaga kelanggengan hubungan baik antara “Kampung Imam dan Kampung Raja” ini ditetapkanlah sebuah etika oleh Sultan Badarruddin dan Sya’ban bin Sanga yang hingga kini pun masih bisa dilihat pada pelaksanaan ritual-ritual keagamaan di dua Kampung Islam tertua di pulau Timor yaitu Kampung Solor dan Airmata.

Sya’ban bin Sanga memiliki 3 (tiga) orang putra yang dikemudian diwakafkan untuk melakukan pengurusan Masjid Agung Al Baitul Qadim hingga anak cucu keturunan mereka dan mereka adalah: Birando anak tertua diwakafkan untuk menjadi Imam Masjid, Abdullah anak kedua diwakafkan untuk menjadi Khatib Masjid dan Bofeiq anak terakhir diwakafkan untuk menjadi Bilal Masjid. Tradisi mewakafkan diri pada masjid ini terus berlangsung hingga cucu-cucu Sya’ban. H. Imam Birando bin Taher yang masih memegang jabatan imam sekarang adalah cicit Sya’ban.

Atas alasan tersebut maka dibangunlah Masjid Airmata ini yang dilakukan guna memberikan sebuah tempat ibadah dan pusat keagamaan bagi masyarakat Kesultanan Mananga yang baru dipindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pulau Solor ke Pulau Timor. Pembangunan masjid ini dibantu umat Kristiani yang ada di sekitar kampung Airmata Kupang. Pembangunan Masjid Agung Al Baitul Qadim ini berlangsung 6 (enam) tahun lamanya yaitu dimulai pada tahun 1806 dan selesai tahun 1812.

          Masjid Agung Al-Baitul Qadim ini merupakan simbol pemersatu warga Muslim dengan non-muslim karena dalam pembangunan Masjid ini pun mendapat bantuan dari masyarakat etnis asli setempat dibawah perintah Raja Taebenu Raja Timor Barat Timor Loro Manu ketika itu. Sehingga masyarakat Tabenu merasa turut serta memiliki tanggungjawab untuk menjaga keberadaan Masjid Agung Al Baitul Qadim. Hal ini terwujud dengan sikap penjagaan yang mereka tunjukkan dan wujudkan dalam pergaulan mereka sehari-hari.

            Ikatan Persatuan ini diperkuat dan diperluas dengan adanya hubungan perkawinan dengan berbagai suku setempat membuat Masjid Agung Al Baitul Qadim semakin jelas menjadi sebuah simbol Pemersatu yang mengikat hati-hati setiap warga Timor. Sehingga dengan keadaan ini masyarakat “Kampung Imam dan Kampung Raja” dapat dengan aman menjalankan beraneka ragam bentuk ritual Keagamaan dengan tenang dan tidak mendapatkan gangguan.

Keragaman bentuk ritual ini sungguh indah terlihat dan nyaman terasa dan semua itu berpusat di Masjid Agung Al Baitul Qadim maka tak ayal lagi hal ini menjadi sebab banyaknya pengunjung dari luar NTT yang berdatangan ke Masjid Agung Al Baitul Qadim hanya untuk mengetahui keberadaan masjid yang tergolong tertua di wilayah Pulau Timor ini sembari melakukan perjalanan wisata rohani di Kota Kupang.
Masjid dengan arsitektur khas yang menggabungkan unsur budaya Flores Timur dengan Arab itu merupakan simbol perlawanan warga Airmata terhadap penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang. Bahkan kaum penjajah kala itu mencoba menghancurkan Masjid Agung Al Baitul Qadim tersebut dengan berbagai cara namun Alhamdulillah dengan perlindungan Allah usaha mereka itu selalu berakhir dengan kegagalan. Pada tahun 1984, oleh Imam Masjid turunan ketujuh, Birando bin Tahir, melakukan pemugaran Masjid Agung Al Baitul Qadim atas persetujuan jemaah setempat, dengan sejumlah alasan diantaranya bertambah pesatnya perkembangan jumlah warga Muslim dam Muslimah. Pemugaran itu juga didasarkan pada kondisi rumah ibadah tertua ini tidak layak lagi dipandang, karena sebagian dinding dan atap mengalami perapuhan, sehingga perlu direnovasi, tanpa menghilangkan keasliannya yang tetap nampak pada sebagian dinding ruangan yang hingga kini masih ada. Pemugaran atas masjid bersejarah ini juga bertujuan untuk melestarikan keberadaannya sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Timor.

Menurut penuturan dari H. Imam Birando bin Taher, Imam Masjid Agung Airmata ke tujuh yang juga tokoh masyarakat Airmata. Sejatinya Masjid Agung Airmata bukanlah Masjid yang pertama kali berdiri di Kupang. Sebelumnya Kyai Arsyad sudah pernah dua kali mendirikan masjid tetapi dua kali juga dihanguskan oleh penjajah Belanda. Sebelum ditangkap dan diasingkan, Kiyai Arsyad yang banyak berperan dalam pengembangan Islam di Kupang memimpin perlawanan masyarakat Cilegon, Banten, terhadap Belanda.

Kiyai Arsyad mula-mula tinggal di Oeba, kawasan pantai di belahan utara Kupang dan mendirikan masjid. Baru beberapa tahun, masjid itu digusur Belanda dengan dalih akan dijadikan kompleks perumahan pejabat.  Kiyai Arsyad dan pengikutnya kemudian bergeser ke arah selatan kota, di Fontein sekarang dan kembali mendirikan masjid. Tapi Belanda kembali menggusur masjid dan komunitas Kiyai Arsyad dengan alasan akan mendirikan perkantoran. Kantor Bupati Kupang sekarang diyakini sebagai lokasi berdirinya masjid Kiyai Arsyad.

Tergusur dari Fontein, Kiyai Arsyad beserta pengikutnya memindahkan komunitasnya ke arah selatan, Airmata sekarang dan tidak lagi digusur karena Belanda terlanjur angkat kaki dari Nusantara. Masjid Agung yang didirikan di Airmata ini dibangun di atas tanah wakaf Sya’ban bin Sanga Kala dan diberi nama Baitul Al-Qadim (rumah pertama). Masjid Agung Al Baitul Qadim yang unik, kini telah menurunkan tujuh Imam Kepala Pendahulu diantaranya Sya’ban bin Sanga, Birando bin Sya’ban, Alidin bin Birando bin Sya’ban, Ali bin Birando bin Sya’ban, Tahir bin Ali bin Birando bin Sya’ban dan Birando bin Tahir bin Ali bin Birando bin Sya’ban.

Arsitektur

air-3Masjid itu dibangun dengan perpaduan arsitek antara unsur budaya Flores Timur dan Arab sebagai simbol perlawanan warga Airmata terhadap koloni Belanda dan Jepang pada masa itu. Masjid Air Mata ketika dibangun pertama kali tahun 1806 Masehi berarsitektur perpaduan seni arsitektur Jawa dan Cina. Dengan ukuran 10 x 10 meter, berbentuk joglo,  dengan atap genteng. Tahun 1984 masehi dilakukan pemugaran total dengan pemrakarasa Imam H. Birando bin Taher sehingga menjadi bentuknya yang sekarang. Pemugaran ini dilakukan Birando bin Tahir atas persetujuan jemaah setempat, dengan sejumlah alasan, di antaranya bertambah pesatnya warga Muslim dam Muslimah. Pemugaran itu juga didasarkan pada kondisi rumah ibadah tertua ini tidak layak lagi dipandang, karena sebagian dinding dan atap mengalami perapuhan, sehingga perlu direnovasi, tanpa menghilangkan keasliannya yang tetap nampak pada sebagian dinding ruangan yang hingga kini masih ada.

Mengunjungi masjid ini akan lebih mengesankan bila bersamaan dengan, saat perayaan Maulid Nabi, 12 Rabiul Awal. Berbeda dengan daerah lain, perayaan Maulid Nabi di Kupang, terutama di kedua ini memiliki tradisi yang sangat khas. Acara pokok mauludan adalah berzikir, yakni pembacaan kitab Barjanzi yang dilatunkan dengan irama tertentu serta diiringi oleh tabuhan rebana. Sepintas, seni berzikir ini hampir memiliki kesamaan dengan seni ruddat yang banyak dijumpai di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur. Tradisi yang sama juga dilaksanakan di Masjid Al-Falah, Kampung Solor, Kota kupang.

Peringatan Maulid Nabi di sini juga ditandai dengan aneka hidangan yang dihiasi aneka warna. Ada nasi merah dan kuning, ada telur ayam rebus, juga pisang rebus yang juga diberi aneka warna dan dihidangkan dalam nampan bersama nasi tadi. Lebih khas lagi, ada kelapa muda diukir aneka macam yang ditancapi kembang-kembang plastik. Semua aneka makanan, kelapa dan bunga itu selepas waktu Isya diarak beramai-ramai menuju masjid dengan lantunan Salawat Badar.

Perarakan Siripuan Warnai Perayaan Maulid Nabi Muhamad SAW

Prosesi Perarakan Siripuan mewarnai setiap perayaan Maulid Nabi Muhamad SAW diselenggarakan oleh komunitas muslim Kelurahan Airmata-Kota Kupang. Siripuan yang diarak tersebut berupa rangkaian bunga  rampai daun pandan dan buah – buahan, yang merupakan lambang cinta kasih dan damai sejahtera, diarak oleh ratusan masyarakat kelurahan Airmata, diiringi dengan tari-tarian dengan bergandengan tangan sambil mendendangkan Sholawat Nabi.

Prosesi perarakan siripuan yang merupakan perpaduan antara nilai budaya dan nilai religius yang dilakukan dalam rangka memperingati hari lahirnya Nabi Muhamad SAW tersebut, telah berlangsung turun temurun tepatnya sejak tahun 1806, dan bertujuan untuk meningkatkan tali silaturahmi diantara umat muslim dan umat beragama lainnya yang ada di Kota Kupang.

Perarakan siripuan malam itu yang ditandai dengan pemukulan bedug oleh Walikota Kupang, dilepas dari rumah imam masjid menuju Masjid Agung Al Baitul Qadim-Airmata. Acara ini biasa nya juga dihadiri oleh para pejabat daerah dan pusat baik sipil maupun Militer.

Tinggalkan komentar