MULTIKULTURAL

  1. Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Multikultural

Menurut J.S. Furnivaal (1967) yang disebut masyatakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau kelompok yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian berdasarkan susunannya dan komunitas etnisnya masyarakat majemuk dibedakan menjadi empat kategori yakni : masyarakat majemuk dengan komposisi yang seimbang, masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk dengan fragmentasi.

Sedangkan menurut Clifford Geertz (1973) ia menyebutkan bahwa konsep majemuk sebagai “masyarakat pluralistic” diartikan dengan budaya pencitraan atau “penandaan” yang diberikan diantaranya : ras, bahasa, daerah/wilayah geografis, agama dan budaya.

Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar dipermukaan laut. Tjong Tiat Liem (1968) mencatat geografis Indonesia terbagi atas kurang kebih 3000 pulau yang berserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan.

Faktor geografis tersebut berpengaruh besar terhadap terciptanya pluralitas sukubangsa di Indonesia. Diversivitas mengakibatkan isolasi budaya, walaupun budaya dari pulau-pulau yang berbeda itu mempunyai akar yang sama. Penyebab perbedaan itu dapat ditemukan pada etnik. Setiap satuan etnik terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan pengecualian yang sangat kecil, mereka pada umuknya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih daripada itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.

Kelompok etnis masih bisa digolongkan berdasarkan sistem kepercayaan, adat istiadat, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Eksistensi satuan-satuan etnis tersebut telah ada jauh sebelum zaman modern. Tome Pires pada sekitar tahun 1500 menemukan puluhan kelompok etnis. Masing-masing mempunyai perkampungan sendiri dan yang jelas-jelas menunjukkan otonominya sebagai kesatuan. Banyak nama etnik yang sama dengan nama daerahnya, bahkan sekaligus menunjukkan nama kebudayaannya. Antropolog Hildred Geertz (1981) mencatat lebih dari 300 kelompok suku dengan identitas kebudayaan tersendiri dan lebih dari 250 bahasa daerah yang khas. Kepercayaan agama juga bermacam-macam. Hampir semua agama dunia yang besar dan penting ada di kepulauan Indonesia.

Skinner (1959) menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia, maisng-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Skinner juga menggambarkan perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang tergolong paling besar adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis. Nasikun (1986) memasukkan Tionghoa ke dalamnya. Sekalipun jumlahnya tidak seberapa besar, namun kedudukan mereka yang sangat kuat di dalam bidang ekonomi berpengaruh besar dalam hubungan dengan sukubangsa yang lain, yang sebagai keseluruhan biasanya dipandang sebagai golongan pribumi.

Kenyataan kedua dalah bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Pasifik. Kondiri ini mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Hasil final dari semua pengaruh itu dapat dijumpai dlama bentuk pluralitas agama.

Lombard dalam penelitiannya (1996) mengungkapkan bahwa Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bukan hanya terdiri dari berbagai suku, tetapi juga dengan berbagai jenis kebudayaan sesuai dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan dunia yang telah memasuki Indonesia sejak berabad-abad lalu. Kebudayaan Indonesia terdiri dari lapisan-lapisan budaya dengan ciri-ciri khas yang telah memasuki dan berintegrasi dalam budaya lokal. Pengaruh-pengaruh budaya tersebut telah membentuk mozak kebudayaan yang sangat kaya dan bervariasi sama dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh tumpah darah Indonesia yang kaya raya.

Di samping faktor-faktor pembentuk perbedaan di atas, masih ada faktor lain yang membentuk keragaman. Wertheim (1999) mencatat bahwa dampak teknologi manusia selama proses berabad-abad telah menimbulkan peradaban yang berbeda. Di antara peradaban yang berbeda itu antara lain peradaban di sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pantai Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Melayu, wilayah pedalaman kerajaan pantai Sumatera dan Kalimantan. Corak masyarakat Indonesia yang majemuk tidak saja keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan, melainkan juga peradabannya.

Di luar perbedaan yang mengemuka, kultur Indonesia awal menunjukkan suatu kesatuan yang jelas dalam hal sikap budaya. Dari perspektif hukum adat, sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan pola keluarga, sementara dari sudut pandang linguistik, semua bahasa Indonesia, kecuali beberapa yang memiliki arti kecil, merupakan rumpun yang sama. Dari semua perbedaan yang tampak, sebagaian besar berdasarkan tradisi.

Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat Indonesia sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

2. Konflik-konflik Multikulturalisme

Terkait dengan penyikapan terhadap keragaman, setidaknya ada tiga kelompok sudut pandang yang berkembang kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, kearagaman yang berasal dari genetika seperti suku, ras dan agama yang merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.

Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh poliyisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan Islam misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk menyokong kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis selama setiap orang mau mengalah dari apa yang  dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah. Pandangan ini relevan untuk membangun toleransi atas keragaman.

Relasi yang positif sangat penting dalam membangun harmoni sosial pada masyarakat yang plural, namun kenyataannya tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Berbagai persoalan muncul dalam relasi antar kelompok. Dampaknya bisa sangat mengerikan. Analisis CSIS pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pada saat ini sedikitnya telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat tinggal dan sedikitnya 7 orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dai Utara sampai Selatan. Dunia menyaksikan nkonflik berdarah di Yugoslavia, Cekoslowakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Semua konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan, dan juga agama.

Pada masyarakat majemuk, terdapat kecenderungan munculnya prasangka yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Prasangka tersebut bisa merupakan warisan generasi sebelumnya ataupun muncul sebagai gejala baru. Berbagai prasangka sosial tersebut umumnya tidak bersifat langgeng, melainkan bisa berubah. Perubahan prasangka dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih buruk. Perubahan ini diidentikkan oleh cara berbagai entitas di dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.

Di Indonesia, dalam dekade terakhir terjadi berbagai konflik berdarah yang melibatkan sentimen etnis, golongan, dan juga agama, seperti di Poso, Ambon, Maluku Utara, Pontianak, Sampit, Solo, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai konflik tersebut mengindikasikan kerentanan hubungan antar kelompok di Indonesia.

Masyarakat Indonesia diharapkan pada tantangan yang sebagian mengarah kepada disentegrasi bangsa yang ditandai oleh menguatnya primordialisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mencatat persoalan tersebut berkisar pada masalah prasangka religius, sentimen antaretnik, eksklusivisme, sektarianisme, dan komunalisme yang bermuara pada transformasi struktural masyarakat Indonesia dalam segala dimensinya.

Menurut Azyumardi Azra (1999), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disentegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disentegrasi politik.

Lanjutkan membaca “MULTIKULTURAL”