MULTIKULTURAL

  1. Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Multikultural

Menurut J.S. Furnivaal (1967) yang disebut masyatakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau kelompok yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian berdasarkan susunannya dan komunitas etnisnya masyarakat majemuk dibedakan menjadi empat kategori yakni : masyarakat majemuk dengan komposisi yang seimbang, masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk dengan fragmentasi.

Sedangkan menurut Clifford Geertz (1973) ia menyebutkan bahwa konsep majemuk sebagai “masyarakat pluralistic” diartikan dengan budaya pencitraan atau “penandaan” yang diberikan diantaranya : ras, bahasa, daerah/wilayah geografis, agama dan budaya.

Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar dipermukaan laut. Tjong Tiat Liem (1968) mencatat geografis Indonesia terbagi atas kurang kebih 3000 pulau yang berserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan.

Faktor geografis tersebut berpengaruh besar terhadap terciptanya pluralitas sukubangsa di Indonesia. Diversivitas mengakibatkan isolasi budaya, walaupun budaya dari pulau-pulau yang berbeda itu mempunyai akar yang sama. Penyebab perbedaan itu dapat ditemukan pada etnik. Setiap satuan etnik terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan pengecualian yang sangat kecil, mereka pada umuknya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih daripada itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.

Kelompok etnis masih bisa digolongkan berdasarkan sistem kepercayaan, adat istiadat, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Eksistensi satuan-satuan etnis tersebut telah ada jauh sebelum zaman modern. Tome Pires pada sekitar tahun 1500 menemukan puluhan kelompok etnis. Masing-masing mempunyai perkampungan sendiri dan yang jelas-jelas menunjukkan otonominya sebagai kesatuan. Banyak nama etnik yang sama dengan nama daerahnya, bahkan sekaligus menunjukkan nama kebudayaannya. Antropolog Hildred Geertz (1981) mencatat lebih dari 300 kelompok suku dengan identitas kebudayaan tersendiri dan lebih dari 250 bahasa daerah yang khas. Kepercayaan agama juga bermacam-macam. Hampir semua agama dunia yang besar dan penting ada di kepulauan Indonesia.

Skinner (1959) menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia, maisng-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Skinner juga menggambarkan perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang tergolong paling besar adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis. Nasikun (1986) memasukkan Tionghoa ke dalamnya. Sekalipun jumlahnya tidak seberapa besar, namun kedudukan mereka yang sangat kuat di dalam bidang ekonomi berpengaruh besar dalam hubungan dengan sukubangsa yang lain, yang sebagai keseluruhan biasanya dipandang sebagai golongan pribumi.

Kenyataan kedua dalah bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Pasifik. Kondiri ini mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Hasil final dari semua pengaruh itu dapat dijumpai dlama bentuk pluralitas agama.

Lombard dalam penelitiannya (1996) mengungkapkan bahwa Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bukan hanya terdiri dari berbagai suku, tetapi juga dengan berbagai jenis kebudayaan sesuai dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan dunia yang telah memasuki Indonesia sejak berabad-abad lalu. Kebudayaan Indonesia terdiri dari lapisan-lapisan budaya dengan ciri-ciri khas yang telah memasuki dan berintegrasi dalam budaya lokal. Pengaruh-pengaruh budaya tersebut telah membentuk mozak kebudayaan yang sangat kaya dan bervariasi sama dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh tumpah darah Indonesia yang kaya raya.

Di samping faktor-faktor pembentuk perbedaan di atas, masih ada faktor lain yang membentuk keragaman. Wertheim (1999) mencatat bahwa dampak teknologi manusia selama proses berabad-abad telah menimbulkan peradaban yang berbeda. Di antara peradaban yang berbeda itu antara lain peradaban di sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pantai Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Melayu, wilayah pedalaman kerajaan pantai Sumatera dan Kalimantan. Corak masyarakat Indonesia yang majemuk tidak saja keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan, melainkan juga peradabannya.

Di luar perbedaan yang mengemuka, kultur Indonesia awal menunjukkan suatu kesatuan yang jelas dalam hal sikap budaya. Dari perspektif hukum adat, sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan pola keluarga, sementara dari sudut pandang linguistik, semua bahasa Indonesia, kecuali beberapa yang memiliki arti kecil, merupakan rumpun yang sama. Dari semua perbedaan yang tampak, sebagaian besar berdasarkan tradisi.

Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat Indonesia sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

2. Konflik-konflik Multikulturalisme

Terkait dengan penyikapan terhadap keragaman, setidaknya ada tiga kelompok sudut pandang yang berkembang kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, kearagaman yang berasal dari genetika seperti suku, ras dan agama yang merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.

Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh poliyisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan Islam misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk menyokong kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis selama setiap orang mau mengalah dari apa yang  dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah. Pandangan ini relevan untuk membangun toleransi atas keragaman.

Relasi yang positif sangat penting dalam membangun harmoni sosial pada masyarakat yang plural, namun kenyataannya tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Berbagai persoalan muncul dalam relasi antar kelompok. Dampaknya bisa sangat mengerikan. Analisis CSIS pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pada saat ini sedikitnya telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat tinggal dan sedikitnya 7 orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dai Utara sampai Selatan. Dunia menyaksikan nkonflik berdarah di Yugoslavia, Cekoslowakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Semua konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan, dan juga agama.

Pada masyarakat majemuk, terdapat kecenderungan munculnya prasangka yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Prasangka tersebut bisa merupakan warisan generasi sebelumnya ataupun muncul sebagai gejala baru. Berbagai prasangka sosial tersebut umumnya tidak bersifat langgeng, melainkan bisa berubah. Perubahan prasangka dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih buruk. Perubahan ini diidentikkan oleh cara berbagai entitas di dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.

Di Indonesia, dalam dekade terakhir terjadi berbagai konflik berdarah yang melibatkan sentimen etnis, golongan, dan juga agama, seperti di Poso, Ambon, Maluku Utara, Pontianak, Sampit, Solo, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai konflik tersebut mengindikasikan kerentanan hubungan antar kelompok di Indonesia.

Masyarakat Indonesia diharapkan pada tantangan yang sebagian mengarah kepada disentegrasi bangsa yang ditandai oleh menguatnya primordialisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mencatat persoalan tersebut berkisar pada masalah prasangka religius, sentimen antaretnik, eksklusivisme, sektarianisme, dan komunalisme yang bermuara pada transformasi struktural masyarakat Indonesia dalam segala dimensinya.

Menurut Azyumardi Azra (1999), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disentegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disentegrasi politik.

Di masa lampau, masyarakat Indonesia yang majemuk telah menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan menerima budaya-budaya besar sehinga dapat memperkecil perbedaan-perbedaan. Darinya tumbuh sifat dan karakteristik yang umum pada masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalah gambaran kehidupan bangsa Indonesia di masa lampau yang penuh dengan kearifan hidup bersama dengan keberagaman.

Proses integrasi bangsa Indonesia, menurut Sartono Kartodirjo (1999), dapat dilacak jauh ke masa lampau, tidak hanya kembali ke zaman Sriwijaya dan Majapahit, melainkan juga ke zaman prasejarah. Propses itu disimpulkan dari distribusi nekara (moko), bahasa melayu, rute perdagangan dan navigasi. Kesemuanya ini telah menunjukkan adanya pengalaman bersama proses integrasi bangsa Indonesia.

Faktas historis tersebut dapat menjadi refleksi kritis atas kehidupan masyarakat Indonesia saat ini dan ke depan. Abdurrahman Wahid (1981) mencatat bahwa semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa Indonesia adalah pencarian tak perkesudagan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali dengan masa lampau. Kita dapat saja menamainya sebagai pencarian harmoni walaupun dengan begitu bersikap tidak adil terhadap pencarian besar dengan peranan dinamisnya dalam pengembangan cara hidup bangsa dan menyalurkannya ke jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama, semuanya dalam proses yang berurutan.

Nilai-nilai lain yang bersumber pada pencarian tersebut atau yang dikembangkan untuk menunjangnya, lanjut Wahid, merupakan gugusan terbesar nilai-nilai Indonesia dewasa ini yang berupa solidaritas sosial yang didasarkan pada rasa kebangsaan tanpa mengucilkan getaran impulsif untuk mengutamakan kelompok-kelompok sempit (kesetiaan suku dan seterusnya); nilai-nilai yang menampilkan watak kosmopolitan yang masih diimbangi oleh rasa keagamaan yang kuat; dan kesediaan untuk mencoba gagasan pengaturan kembali masyarakat berlingkup luas.

Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional yang dapat menjadi kekuatan penyatu yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya. Menurut Suyatno Kartodirjo (2000, masyarakat Indonesia terus mengalami proses sintesa. Sintesa Indonesia yang terus tumbuh sejak masa lampau hingga sekarang ini adalah proses integrasi pola-pola hidup dari kebhinnekaan bangsa. Dari waktu ke waktu proses itu tidak selalu akomodatif, selaras, dan harmonis, tetapi pada kurun waktu tertentu terjadi pula konflik, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Dari sudut pandang budaya, reformasi yang saat ini sedang atau masih berjalan merupakan proses menuju sintesa Indonesia.

Reformasi menghendaki perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Corak masyarakat Indonesia yang majemuk dipandang bukan sekedar keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi : “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah.”

Multikulturalisme dewasa ini tidak saja menyangkut persoalan budaya, melainkan juga politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, Hak Asasi Manusia (HAM), hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dna tingkat serta mutu produktivitas. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.

Berikut merupakan contoh konflik-konflik multikultural di Indonesia :

  • Konflik yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012

Konflik ini terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 hingga 29 Oktober 2012. Yang menjadi penyebab konflik adalah saat ada dua gadis yang berasal dari Desa Agom diganggu oleh sekelompok pemuda yang berasal dari desa Balinuraga. Kedua gadis ini sedang naik sepeda motor kemudian diganggu hingga kedua terjatuh dan mengalami luka-luka. Sontak kejadian ini memicu amarah dari warga desa Agom. Mereka kemudian mendatangi Desa Balinuraga yang mayoritas beretnis Bali dengan membawa sajam dan senjata. Bentrok pun tak terhindarkan hingga menewaskan total 10 orang.

  • Konflik yang terjadi di Tolikara Tahun 2016

Konflik terjadi karena pembagian bantuan dana respek antar distrik yang dirasa tidak adil. Konflik ini menimbulkan korban jiwa dan kehilangan harta benda. Selain itu, konflik juga menyebabkan sebagian warga mengungsi dan terjadi penjarahan.

  • Konflik yang terjadi di Kabupaten Flores Timur, NTT Tahun 2013

Konflik sosial yang terjadi pada tanggal 11 Mei 2013 di Desa Wulublolong dan Desa Lohayong II Kecamatan Solor Timur Kabupaten Flores Timur Provinsi NTT. Penyebabnya adalah saling rebut material yang berada di batas desa yang diklaim oleh kedua warga desa sebagai pemilik. Konflik menimbulkan kerugian materi, korban jiwa serta sebagian warga mengungsi.

  • Konflik yang terjadi di Rembang, Jawa Tengah Tahun 2016

Merupakan konflik dalam bidang pertambangan. Terjadi antara Semen Indonesia dengan warga masyarakat Pegunungan Kendeng, Rembang Jawa Tengah. Penyebabnya adalah berbagai kejanggalan yang telah dilakukan oleh Semen Indonesia seperti masalah Amdal yang tidak sesuai dan hak ekonomi.

  • Konflik yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar, NTB Tahun 2013

Konflik sosial yang terjadi pada tanggal 23 Januari 2013 di Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupatan Sumbawa Besar, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Konflik ini menyebabkan banyak warga masyarakat yang mengungsi.

  • Konflik yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku

Konflik sosial yang terjadi di Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Merupakan konflik yang sering terjadi dan berkelanjutan. Konflik menyebabkan kerugian materi.

  • Konflik yang terjadi di Aceh Singkil, Tahun 2015

Aksi pembakaran beberapa gereja yang terjadi tanggal 13 Oktober 2015 di Aceh Singkil diawali dengan demonstrasi yang dilakukan oleh remaja Muslim. Mereka menuntut pemerintah setempat untuk melakukan pembongkaran terhadap sejumlah gereja yang dianggap tidak memiliki izin. Karena tensi yang tinggi, sebanyak 600 orang kemudian memutuskan melakukan pembakaran terhadap beberapa gereeja yang ada. Konflik ini mengakibatkan 1 orang tewas dan 4 orang luka-luka.

  • Konflik yang terjadi di Tolikara, Tahun 2015

Banyak pihak yang berpendapat bahwa konflik sosial yang terjadi di Tolikara ini tidak hanya berlatar belakang agama, namun juga masalah kesenjangan ekonomi serta keamanan. Konflik yang terjadi saat Hari Raya Idul Fitri ini berawal dari penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada warga yang tengah melakukan Sholat Id. Aksi ini berlanjut pada pembakaran masjid, bangunan rumah serta kios yang ada di sekitarnya.

3. Cara Mengatasi Konflik Multikuturalisme di Indonesia

Secara konseptual, konflik di aras lokal Indonesia disebabkan oleh berbagai konflik kepentingan, baik ideologis, politik maupun sosial-ekonomi. Kita telah mencatat berbagai konflik multicultural pecah di beberapa daerah. Secara sosiologis, perkembangan masayarakat heterogen seperti kalimanatan Barat, mulai bergerak kea arah kompetisi yang semakin kuat. Kompetisi di antara mereka dalam masatarakat yang multicultural mempunyai kecenderungan mudah terpicu dis-harmoni sosial di satu pihak. Di pihak lain, justru adanya kompetisi merupakan kekuatan untuk menjalin integrasi lebih solid. Hal ini sangat tergantung dari muatan konflik-konflik latent, seperti pengembangan etnisentrisme dan stereotip oleh kelompok garis kears untuk membuat terjadinya disintegrasi.

Dalam situasi perubahan sosial yang cepat, dimana setiap komunitas budaya yang berbeda kurang sedia terbuka dan mau belajar serta memahami kebudayaan komunitas lain, akan lebih menyulitkn antisipasi terhadap beberapa kehendak dari masyarakat, karena kehenak itu bersumber pada mentalitas mereka. Taktik pembauran yang pernah dilakukan oleh rezim Oerde Baru tidak pernah berhasil mungkin karena pendekatannya yang bersifat politis dan ideologis mengesampingkan pendekatan budaya seperti komunikasi multibudaya.

Oleh sebab itu, penyelesaian konflik multicultural di tempat tertentu belum tentu cocok ditempat lain. Dibawah ini sedikit telaah yang bersifat lebih teoritis ketimbang praktis dengan didasarkan beberapa pengalaman lokal.

a. Pendekatan Budaya

Secara teoritis hubungan yang bersifat aktif maupun pasif dalam kehidupan sehari-hai sangant tergantung dari ideology yang dianjutnya dan juga erat berhubungan dengan budaya dimana mereka hidup, “there are frequently some conlicts between the two processes”. Ini sering terjadi dimana pun saja ide-ide baru mendapatkan perlawanan (the strong restraint) dari sebuah kemapanan apalagi tidak diperkenlakan secara lebih aseptabel. Perlawanan, kebencian atau konflik juga cenderung muncul ketika orang-orang baru memamsuki masyarakat yang sudah lama menempati suatu wilayah.

Republik Indonesia dibangun dari kemajemukan kultural, dan secara jarak fisik mereka juga dipisahkan oleh lauatan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Hambatan jarak fisik dan jarak budaya, termasuk di dalamnya hambatan politis pada umumnya juga menumbuhkan hambatan dalam berkomunikasi. Dalam keadaan seperti inilh, upaya membangun kebrdamaan dalam perbedaan harus bertumpu pada pendekatan budaya, yakni dengan melakukan cultural proximity (mendekatkan secara budaya) seluas-luasnya, atau apa yang disebut disini adalah pencerahan moral. Terutama pada wilayah strategi komunikasi anatarbudaya baik lewat strategi pemberdayaan komunikasi sosial-budaya, strategi komunikasi massa maupun lewat sosialisasi pada komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi.

Pencerahan moral dalam perspektif buku ini dijelaskan pada kajian konumikasi, yaitu, (1) membangun saluran komunikasi sosial-budaya yang terbuka dan egaliter, (2) membuka seluas-luasnya ruang pubik antaretnis, (3) membuka saluran sosialisasi seluas-luasnya di berbagai tingkatan sevagai acara menangkap aspirasi dan realitas sosial masyarakatnya. Misalnya, memberi peluang kepada seluruh komponen bangsa yang berbeda-beda etnik, ras, agama dab budayanya untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama sebagai sharing of creativity atau Bung Karno mendefinisikan dengan sebutan Gotong Royong.

Hasil yang diharapkan dengan cara ini adalah lahirnya sikap familiarity atau keterbukaan yang mampu mendorong terjadinya a friendship, yang memang perlu dilihat seberapa jauh faktor komunikasi dilandasi oleh faktor “liking” (kesukaan) dan “congeniality” (pertemanan)

b. Pendekatan Politis

Kebijakan ekonomi daerah telah membuka masa transisi ditandai dengan berbagai gejolak dan kelemahan-kelemahan. Kewenangan yang luas di tingkat lokal merupakan pola baru yang masih perlu dicoba. Masyarakat pada saati ini mendapatkan kesempatan untuk memberdayakan diri dan bukan untuk memerdekakan diri lepas dari pangkuan Republik Indonesia. Keputusan politik telah diambil dan setiap  daerah perlu harus menjalankan dengan berbagai upaya. Berbagai hambatan politik sangat berpengaruh terhadap komunikasi berbagai komponen masyarakat, termasuk di dalamnya hubungan anatrbudaya.

Dalam membangun kebersamaan dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia di tengah kenyatan masyarakat yang pluralistic, otonomi daerah sejak awal dicurigai dan disikapi secara apriori. Setahun sebelum Otda diterapkan, berbagai pandangan yang sempat tercatat antara lain, pendapat seorang ahli hokum, melihat otonomi daerah sebagai amanat hokum tetapi akhirnya meninggalkan bom waktu, sedangkan pendapat politikus menilai Otda sebagai kebijakan yang kebablasen.

Otonomi daerah bagaimanapun punya misi untuk menyelamatkan Negara. Dengan harapan, Otda sebagai suatu kebijakan yang memberi peluang bagi masyrakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan kepemerintahan yang baik (good governance) ditingkat lokal dapat diwujidkan. Harapan dan panggilan demokrasi, demikian mimpi masyarakat pada umumnya, yang akan berjalan dengan baik sering kekuatan aras bawah yang lebih memerankan dalam pengambilan keputusan sehinga tercipta masyarakat yang terloibat, merata dan berkeadilan. Ini artinya, bahwa format kebijakan Otda dapat dilihat pula dalam rangka mengatasi konflik multicultural yang tidak saja berkembang pada masalah konflik horizontal dan lokal semata tetapi juga untuk mengatasi dis-integrasi bangsa.

Akibatnya, ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat yang dulu sangat tinggi kemungkinan kini akan berubah. Perubahan ini dengan sendirinya diharapkan akan menumbuhkan kreativitas masyarakat lokal beserta seluruh perangkat daerah dan kotayang dulu tidak terbedayakan menjadi lebih bergairah. Kegairahan ini diasumsikan dapat membuka ruang public sosial yang lebih longgar terutama dalam kontak dan hubungan antar daerah. Kalau asumsi bias diterima, maka dapat diharapkan bahwa Otda mampu membangun iklim kondusif bagi komunikasi multicultural.

c. Pers dan Strategi Komunikasi Multikultural

Meskipun otonomi daerah memperkokoh kembali posisi tawar antar daerah atas pusat, tetapi juga memperkokoh posisi etnosentrisme terhadap daerah yang lain. Hal ini diperlukan strategi komunikasi yang mampu mejembatani hembatan-hambatan dalam berkomunikasi multicultural dan komunikasi antar daerah.

Komunikasi dan pers dalam pandangan ini menjadi jembatan emas Indonesia di masa depan. Pers dan komunikasi mampu menrungkapkan secara khas seluruh pembendaharaan perilkau dan realitas masyarakat secara apa adanya dalam interkasi antar komunitas, karena memang perilkau komunikasi masyarakat sangat bergantung dari budaya di mana ia dibesarkan. Kebudayaan sebagai landasan konikasi, berarti pluraits budaya bangsa Indonesia yang bhineka menghasilkan suatu pola dan praktik komunikasi yang bermacam-macam. “when culture vary, communication practice aslo vary”.

Selanjutnya, subkultur dan mikrokultur yang begitu banyak ragamnya di Indonesia, mau tidak mau dtentukan sebagai bagian dari suatu entitas sosial budya dominan, meskipun pada hakikatnya subkultur dan mikrokultur tersebut mempunyai keunikan dan karakter khas dengan berbagai kebiasaan, adat istiadat dan pengalam lokal, nilai-nilai sosial dan harapan-harapan hidup yang selalu tidak sama dengan budaya dominan.

d. Pendekatan Pendidikan

Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk. Melalui pendidikan multikultural, siswa yang datang dari berbagai latar belakang dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing.

Pendidikan multikultural sangat pending diterapkan guna meminimalisasi dan mencegak terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Dengan mengembangkan model pendidikan berbasis multikultural, menurut H.A.R. Tilaar (2007), diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.

Pada masyarakat yang multikultural, diperlukan pendidikan nasional yang bercirikan multikultural, yaitu pendidikan yang melayani kepentingan masyarakat dari berbagai latar belakang budaya. Mochtar Buchori mencontohkan pengalaman Jerman. Ada dua eksperimen menarik yang dilakukan di Jerman, yaitu di Berlin dan Negara Bagian Baden-Wurttenberg. Di Berlin, pendidikan multikultutral untuk anak-anak Turki-Jerman dana anak-anak Jerman asli diselenggarakan di sebuah SD bernama Aziz Nasim Europa Elementary School. Sekolah ini bersifat bilingual. Setengah dari kegiatan pembelajaran diselenggarakan dalam bahasa Jerman, setangahnya lagi dalam bahasa Turki. Pembelajaran agama mencakup pelajaran tentang agama Islam dan agama Kristen.

Selain melalui pendekatan-pendekatan tersebut diatas, untuk membangun masyarakat multikultur yang rukun dan bersatu ada beberapa niali yang harus dihindari yakni :

  • Primordialisme , yang artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan mereka untuk bisa menerima keberadaan suku bangsa yang lain.
  • Etnosentrisme, artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaanya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Indonesia bisa maju dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang muncul adalah disentegrasi sosial. Apabila sikan dan pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang bersifat kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.
  • Diskriminatif, adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati terhadap sesama warga negara.
  • Stereotip, adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki ciri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-besarkan hingga membentuk sebuah kebencian.

4. Yang Bertanggung Jawab Terhadap Konflik Multikulturalisme

Masalah multikulturalisme adalah tanggung jawab kita bersama untuk membangun suatu keinginan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalampluralitasbudaya yang adadalamkomunitas. Karena hakikatnya tidak semua proses bisa disamakan antarabudaya yang satu dengan budaya yang lain. Adapun pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengatasan masalah multikulturalisme di Indonesia diantaranya adalah:

  1. Dimanakebijakanpemerintahharusmemasukkankomunikasimultikulturaldalam program perencanaannasional. Dalamhalinimasukdalamhal, pemupukanwawasankebangsaan, ideologi, komunikasi, dan media massa.
  2. Guru, yang berperanpentingdalamperkembangananakbangsasebagaipemeranpendidikbagiduniapendidikan, komunikasimultikulturalharusmasukdalamkurikulumpendidikannasionalbagisekolahtingkatdasarsampaiperguruantinggi. Iniadalahupayapendekatanbudayadijadikan modal bagigenerasipenerusuntuksalingmengertibudayaetnislaindanbudaya orang asing.
  3. Masyarakat, karenadalammasyarakatdapatdibuat program yang mengajakmasyarakatuntukberpartisipasidalampertanggungjawabansosial. Caranyadenganmembukaruangpublikseluas-luasnyauntukmasyarakat agar mampumengaksespengetahuantentangbagaimanacaraberhubungandenganmasyarakat yang berbeda-bedadalamlingkupdomestikdandalampergaulan global.
  4. Perguruantinggi, perlumelanjutkanpenelitiankomunikasiantarbudayasebagaiupayamenemukandesainkomunikasimultikultural yang bergunabagiwargamasyarakatantara lain untukmensosialisasikanperbedaanbudayabangsabukansebagaihambatanuntukbersatutetapimenjadikekuatanpemersatu.
  5. Dan pihak-pihakdanlembaga-lembaga yang lainseertiberbagailembagapolitik, birokrasidanbisnissertamasyarakatluaslewatpendidikanpolitikmasyarakat.

 

Daftar Pustaka

 

H.A.R. Tilaar (2004), Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grassiondo.

Hasyim, Dardiri dan Yudi Hartono. (2008). Pendidikan Multikultural di Sekolah. Surakarta : UNS Press.

Kahn, Joel S. (2016).Kultur, Multikultur, Postkultur. Yogyakarta : Institute of Nation Development Studies (INDeS).

Mahfud, Choirul. (2006). Pendidikan Multikultural, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Tinggalkan komentar