MULTIKULTURAL

  1. Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Multikultural

Menurut J.S. Furnivaal (1967) yang disebut masyatakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas atau kelompok yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian berdasarkan susunannya dan komunitas etnisnya masyarakat majemuk dibedakan menjadi empat kategori yakni : masyarakat majemuk dengan komposisi yang seimbang, masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk dengan fragmentasi.

Sedangkan menurut Clifford Geertz (1973) ia menyebutkan bahwa konsep majemuk sebagai “masyarakat pluralistic” diartikan dengan budaya pencitraan atau “penandaan” yang diberikan diantaranya : ras, bahasa, daerah/wilayah geografis, agama dan budaya.

Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar dipermukaan laut. Tjong Tiat Liem (1968) mencatat geografis Indonesia terbagi atas kurang kebih 3000 pulau yang berserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan.

Faktor geografis tersebut berpengaruh besar terhadap terciptanya pluralitas sukubangsa di Indonesia. Diversivitas mengakibatkan isolasi budaya, walaupun budaya dari pulau-pulau yang berbeda itu mempunyai akar yang sama. Penyebab perbedaan itu dapat ditemukan pada etnik. Setiap satuan etnik terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan pengecualian yang sangat kecil, mereka pada umuknya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih daripada itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.

Kelompok etnis masih bisa digolongkan berdasarkan sistem kepercayaan, adat istiadat, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Eksistensi satuan-satuan etnis tersebut telah ada jauh sebelum zaman modern. Tome Pires pada sekitar tahun 1500 menemukan puluhan kelompok etnis. Masing-masing mempunyai perkampungan sendiri dan yang jelas-jelas menunjukkan otonominya sebagai kesatuan. Banyak nama etnik yang sama dengan nama daerahnya, bahkan sekaligus menunjukkan nama kebudayaannya. Antropolog Hildred Geertz (1981) mencatat lebih dari 300 kelompok suku dengan identitas kebudayaan tersendiri dan lebih dari 250 bahasa daerah yang khas. Kepercayaan agama juga bermacam-macam. Hampir semua agama dunia yang besar dan penting ada di kepulauan Indonesia.

Skinner (1959) menyebutkan adanya lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia, maisng-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Skinner juga menggambarkan perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang tergolong paling besar adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis. Nasikun (1986) memasukkan Tionghoa ke dalamnya. Sekalipun jumlahnya tidak seberapa besar, namun kedudukan mereka yang sangat kuat di dalam bidang ekonomi berpengaruh besar dalam hubungan dengan sukubangsa yang lain, yang sebagai keseluruhan biasanya dipandang sebagai golongan pribumi.

Kenyataan kedua dalah bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Pasifik. Kondiri ini mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Hasil final dari semua pengaruh itu dapat dijumpai dlama bentuk pluralitas agama.

Lombard dalam penelitiannya (1996) mengungkapkan bahwa Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia bukan hanya terdiri dari berbagai suku, tetapi juga dengan berbagai jenis kebudayaan sesuai dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan dunia yang telah memasuki Indonesia sejak berabad-abad lalu. Kebudayaan Indonesia terdiri dari lapisan-lapisan budaya dengan ciri-ciri khas yang telah memasuki dan berintegrasi dalam budaya lokal. Pengaruh-pengaruh budaya tersebut telah membentuk mozak kebudayaan yang sangat kaya dan bervariasi sama dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh tumpah darah Indonesia yang kaya raya.

Di samping faktor-faktor pembentuk perbedaan di atas, masih ada faktor lain yang membentuk keragaman. Wertheim (1999) mencatat bahwa dampak teknologi manusia selama proses berabad-abad telah menimbulkan peradaban yang berbeda. Di antara peradaban yang berbeda itu antara lain peradaban di sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pantai Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Melayu, wilayah pedalaman kerajaan pantai Sumatera dan Kalimantan. Corak masyarakat Indonesia yang majemuk tidak saja keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaan, melainkan juga peradabannya.

Di luar perbedaan yang mengemuka, kultur Indonesia awal menunjukkan suatu kesatuan yang jelas dalam hal sikap budaya. Dari perspektif hukum adat, sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan pola keluarga, sementara dari sudut pandang linguistik, semua bahasa Indonesia, kecuali beberapa yang memiliki arti kecil, merupakan rumpun yang sama. Dari semua perbedaan yang tampak, sebagaian besar berdasarkan tradisi.

Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat Indonesia sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

2. Konflik-konflik Multikulturalisme

Terkait dengan penyikapan terhadap keragaman, setidaknya ada tiga kelompok sudut pandang yang berkembang kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, kearagaman yang berasal dari genetika seperti suku, ras dan agama yang merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.

Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh poliyisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan Islam misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk menyokong kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis selama setiap orang mau mengalah dari apa yang  dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi.

Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah. Pandangan ini relevan untuk membangun toleransi atas keragaman.

Relasi yang positif sangat penting dalam membangun harmoni sosial pada masyarakat yang plural, namun kenyataannya tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Berbagai persoalan muncul dalam relasi antar kelompok. Dampaknya bisa sangat mengerikan. Analisis CSIS pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pada saat ini sedikitnya telah terjadi 35 pertikaian besar antaretnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat tinggal dan sedikitnya 7 orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dai Utara sampai Selatan. Dunia menyaksikan nkonflik berdarah di Yugoslavia, Cekoslowakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Semua konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan, dan juga agama.

Pada masyarakat majemuk, terdapat kecenderungan munculnya prasangka yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Prasangka tersebut bisa merupakan warisan generasi sebelumnya ataupun muncul sebagai gejala baru. Berbagai prasangka sosial tersebut umumnya tidak bersifat langgeng, melainkan bisa berubah. Perubahan prasangka dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih buruk. Perubahan ini diidentikkan oleh cara berbagai entitas di dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.

Di Indonesia, dalam dekade terakhir terjadi berbagai konflik berdarah yang melibatkan sentimen etnis, golongan, dan juga agama, seperti di Poso, Ambon, Maluku Utara, Pontianak, Sampit, Solo, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai konflik tersebut mengindikasikan kerentanan hubungan antar kelompok di Indonesia.

Masyarakat Indonesia diharapkan pada tantangan yang sebagian mengarah kepada disentegrasi bangsa yang ditandai oleh menguatnya primordialisme. Sartono Kartodirdjo (1999) mencatat persoalan tersebut berkisar pada masalah prasangka religius, sentimen antaretnik, eksklusivisme, sektarianisme, dan komunalisme yang bermuara pada transformasi struktural masyarakat Indonesia dalam segala dimensinya.

Menurut Azyumardi Azra (1999), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disentegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disentegrasi politik.

Lanjutkan membaca “MULTIKULTURAL”

“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Matius 10:34)

Ini perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, “Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya” (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6).

106196305

Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, “Berbahagialah orang yang membawa damai”, kata-Nya, “karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok- kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mujizat dari kasih karunia Allah. Lanjutkan membaca ““Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Matius 10:34)”

SEJARAH AIRMATA SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU TIMOR

Airmata merupakan nama salah satu dari 3 kawasan pemukiman muslim di kota Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Airmata disini memiliki dua makna, yaitu pertama kawasan ini memang merupakan sumber mata air sungai yang membelah kota Kupang dan kedua, di tempat inilah banyak airmata yang tumpah akibat kekejaman penjajah Belanda dan Jepang. Setidaknya ada beberapa Ulama yang ditangkap dan diasingkan kompeni Belanda hingga mereka wafat dan di makamkan di sini, diantaranya: Kiyai Arsyad asal Banten, Dipati Amir bin Bahren asal Bangka (Bangka Belitung), Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren (juga dari Bangka Belitung), dan Sultan Dompu bernama Muhamad Sirajudin asal Bima. Mereka kemudian juga menjadi penyebar Agama Islam di Kupang dan sekitarnya. Makam para ulama itu terletak berdekatan dalam sebuah kompleks yang dikenal dengan nama Kuburan Batu Kadera. Di pekuburan ini pula terdapat makam Habib Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Gadri (wafat tahun 1899), salah seorang penyebar agama islam di Kupang.

            Airmata merupakan pusat penyebaran Agama Islam di Pulau Timor. Menurut tokoh masyarakat Kupang asal Papela, Pulau Rote, Darso Bakuama, dibanding wilayah Nusantara lainnya, Islam terbilang agak terlambat masuk ke wilayah ini. Karena itu tidak heran kalau umat Islam di kota ini terbilang minoritas. Sebuah wilayah di tengah kota Kupang bernama Airmata, bisa dipastikan menjadi titik sentral objek ziarah di sini. Dari namanya, sudah bisa dipastikan kalau wilayah ini memiliki identitas, dialek atau logat melayu yang khas, berbeda dari seluruh nama wilayah di kota ini yang biasanya berawalan oe (air), seperti Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenlain dan masih banyak lagi oe-oe lainnya.

Di Airmata terdapat sebuah masjid tertua yang ada di Pulau Timor. Masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Al Baitul Qadim (rumah pertama) yang sudah berusia sekitar 200 tahun itu dibangun diatas tanah hibah Sya’ban bin Sanga pada 1806 bersama dengan Kyai Arsyad (tokoh pergerakan Banten yang dibuang Belanda ke Kupang), Sultan Badarruddin dan rakyatnya dan juga bantuan dari penduduk setempat yang beretnis Timor. Masjid Al-Baitul Qadim dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam pada saat itu hingga sampai ke Timor Portugis (Timor Leste sekarang). Dari sinilah tersebar dakwah Islamiyah di Pulau Timor melalui tangan putra-putra Mananga ini atas seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sya’ban bin Sanga merupakan Imam yang pertama bagi kaum Muslimin di Pulau Timor karena ia merupakan warga Muslim pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Timor dalam pelayarannya dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. Syahban bin Sanga Kala berasal dari Mananga, sebuah kampung di Pulau Solor bagian barat. Dia datang bersama rombongan Kesultanan Mananga dibawah Pimpinan Sultan Badarrudin yang di pindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari negeri asalnya yaitu Desa Menanga, Pulau Solor, NTT. Inilah awal masuknya Islam ke Pulau Timor.

Menurut Munandjar Widiyatmika, peneliti masuknya agama Islam di NTT, Islam masuk pertama kali di NTT mulai dari Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur pada abad ke-15. Dimulai dari Mananga, Pulau Solor dilakukan oleh para pedagang yang juga Ulama dari Palembang, Sumatera selatan, ulama tersebut bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. karena pertama kali membawa misi penyebaran agama Islam di NTT dari Mananga, Pulau Solor di Kabupaten Flores Timur. Dari Mananga, Islam kemudian perlahan-lahan masuk ke Pulau Flores, Alor dan Kupang seperti di Airmata itu. Dapat dipahami bila kemudian penyebar Islam pertama di daerah Airmata, Kupang adalah Ulama yang berasal dari Mananga, karena memang Islam di Pulau Timor bermula masuk dari sana.

Sebagai Imam ketika itu Sya’ban bin Sanga memiliki wewenang untuk mengatur segala hal yang menyangkut urusan keagamaan. Dan kemudian pembagian ini dikenal oleh masyarakat Airmata dengan sebutan “Kampung Imam” yang bermakna wilayah kebijakan Imam. Adapun Sultan Badaruddin mengatur masalah kepemimpinan secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan pertimbangan Sya’ban bin Sanga sebagai Imam Kesultanan. Wilayah kebijakan dan kekuasaan Sultan Badaruddin ini dikenal dengan istilah “Kampung Raja”. Dalam menjaga kelanggengan hubungan baik antara “Kampung Imam dan Kampung Raja” ini ditetapkanlah sebuah etika oleh Sultan Badarruddin dan Sya’ban bin Sanga yang hingga kini pun masih bisa dilihat pada pelaksanaan ritual-ritual keagamaan di dua Kampung Islam tertua di pulau Timor yaitu Kampung Solor dan Airmata.

Sya’ban bin Sanga memiliki 3 (tiga) orang putra yang dikemudian diwakafkan untuk melakukan pengurusan Masjid Agung Al Baitul Qadim hingga anak cucu keturunan mereka dan mereka adalah: Birando anak tertua diwakafkan untuk menjadi Imam Masjid, Abdullah anak kedua diwakafkan untuk menjadi Khatib Masjid dan Bofeiq anak terakhir diwakafkan untuk menjadi Bilal Masjid. Tradisi mewakafkan diri pada masjid ini terus berlangsung hingga cucu-cucu Sya’ban. H. Imam Birando bin Taher yang masih memegang jabatan imam sekarang adalah cicit Sya’ban.

Atas alasan tersebut maka dibangunlah Masjid Airmata ini yang dilakukan guna memberikan sebuah tempat ibadah dan pusat keagamaan bagi masyarakat Kesultanan Mananga yang baru dipindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pulau Solor ke Pulau Timor. Pembangunan masjid ini dibantu umat Kristiani yang ada di sekitar kampung Airmata Kupang. Pembangunan Masjid Agung Al Baitul Qadim ini berlangsung 6 (enam) tahun lamanya yaitu dimulai pada tahun 1806 dan selesai tahun 1812.

          Masjid Agung Al-Baitul Qadim ini merupakan simbol pemersatu warga Muslim dengan non-muslim karena dalam pembangunan Masjid ini pun mendapat bantuan dari masyarakat etnis asli setempat dibawah perintah Raja Taebenu Raja Timor Barat Timor Loro Manu ketika itu. Sehingga masyarakat Tabenu merasa turut serta memiliki tanggungjawab untuk menjaga keberadaan Masjid Agung Al Baitul Qadim. Hal ini terwujud dengan sikap penjagaan yang mereka tunjukkan dan wujudkan dalam pergaulan mereka sehari-hari.

            Ikatan Persatuan ini diperkuat dan diperluas dengan adanya hubungan perkawinan dengan berbagai suku setempat membuat Masjid Agung Al Baitul Qadim semakin jelas menjadi sebuah simbol Pemersatu yang mengikat hati-hati setiap warga Timor. Sehingga dengan keadaan ini masyarakat “Kampung Imam dan Kampung Raja” dapat dengan aman menjalankan beraneka ragam bentuk ritual Keagamaan dengan tenang dan tidak mendapatkan gangguan. Lanjutkan membaca “SEJARAH AIRMATA SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU TIMOR”

MODEL PENELITIAN PENGEMBANGAN DICK & CAREY

  1. Model Penelitian Pengembangan Dick & Carey

Metode penelitian dan pengembangan atau dalam bahasa Inggris Research and Development adalah metode  penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut.

Metode penelitian dan pengembangan telah banyak digunakan pada bidang-bidang Ilmu Alam dan Teknik. Hampir semua produk teknologi, seperti alat-alat elektronik, kendaraan bermotor, pesawat terbang, kapal laut, senjata, obat-obatan, alat-alat kedokteran, bangunan gedung bertingkat dan alat-alat rumah tangga yang modern diproduk dan dikembangkan melaui penelitian dan pengembangan. Namun demikian metode penelitian dan pengembangan bisa juga digunakan dalam bidang ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, pendidikan, manajemen, dan lain-lain.

Penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk tertentu untuk bidang administrasi, pendidikan dan sosial lainnya masih rendah. Padahal banyak produk tertentu dalam bidang pendidikan dan sosial yang perlu dihasilkan melalui research dan development. (Sugiyono: 2016, 407)

Model R&D Dick Carey adalah model pendekatan sistem atau model pendekatan prosedural yang dikembangkan oleh Walter Dick, Lou Carey, dan James O. Carey dalam The Systematic Design of Instruktion Edisi ke-7 tahun 2009. Kemudian model ini lebih dikenal dengan nama model pengembangan Dick, Carey, dan Carey atau juga model Dick and Carey. Model prosedural Dick, Carey, dan Carey ini merupakan model penelitian yang menyarankan agar penerapan prinsip desain pengembangan disesuaikan dengan langkah-langkah yang harus ditempuh secara berurutan. Model prosedural Dick and Carey ini merupakan model penelitian yang berorientasi pada pemaparan tahapan penelitian secara deskriptif. Secara umum tahapan-tahapan dalam penelitian ini terdiri atas tiga bagian yakni tahap pra-pengembangan, pengembangan, dan pasca-pengembangan.

Model pengembangan Dick and Carey ini memiliki sepuluh langkah prosedural. Setiap langkah prosedural dalam komponen penelitian dan pengembangan dengan model Dick and Carey ini saling dependen dengan langkah lainnya. Proses langkah evaluasi akan menetukan bentuk revisi atau perbaikan instruksional pada langkah pengembangan berikutnya. Langkah-langkah model Dick and Carey ini dijabarkan mulai dari awal pengembangan sampai pada produk hasil pengembangan.

Model Dick and Carey memiliki ciri khas dari metode R&D pada umumnya, yakni langkah-langkah yang dikelompokkan dalam lima prosedur penelitian pengembangan, yakni analisis, pengembangan, desain, implementasi, dan evaluasi. Kelima langkah prosedur pengembangan tersebut bila diinterpretasikan dalam 10 model pengembangan Dick and Carey yakni : 1) analisis (analyze) yang memuat tiga langkah prosedural pada model pengembangan Dick and Carey di antaranya : menganalisis kebutuhan untuk mengidentifikasi tujuan (asses needs to identity goals), menganalisis intruksional (conduct instructional analysis), dan menganalisis pembelajar dan konteks (analysis learners and contexts), 2) pengembangan (develop), 3) desain (design), dan 4) implementasi (implement) merupakan langkah-langkah prosedural setelah melakukan tahapan analisi kebutuhan. Ketiga langkah ini dilakukan secara prosedural berupa siklus yang dilakukan beberapa kali hingga ditemukan model pengembangan yang diharapkan selanjutnya pada tahapan kelima model hasil dari langkah-langkah prosedural develop-design-implement dievaluasi pada tahapan ke 5) evaluasi (evaluate), tahapan evaluasi berdasarkan model Dick and Carey ditempuh dengan dua cara, yakni evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi ini bersifat menyeluh yang akan mempengaruhi model pengembangan berdasarkan hasil prosedural pada tahapan develop-design-implement.

Diantara model-model rancangan pengembangan tersebut saat ini salah satu model rancangan sistem yang sering dipakai dalam penelitian dan pengembangan secara luas adalah model pendekatan sistem yang dirancang dan dikembangkan oleh Dick & Carey.

Secara umum menurut model Dick and Carrey, sebelum desainer merumuskan tujuan khusus yakni performance goals, perlu menganalisis pembelajaran serta menentukan kemampuan awal siswa terlebih dahulu.Oleh karena itu rumusan kemampuan khusus harus berpijak dari kemampuan dasar atau kemampuan awal. Setelah dirumuskan tujuan khusus yang harus dicapai selanjutnya dirumuskan tes dalam bentuk criterion reference test, artinya tes yang mengukur kemampuan penguasaan tujuan khusus. Untuk itulah maka dikembangkan strategi pembelajaran, yakni skenario pelaksanaan pembelajaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal, setelah itu dikembangkan bahan-bahan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.Langkah akhir dari desain adalah melakukan evaluasi, yaitu evaluasi formatife dan sumatife.Evaluasi formatife berfungsi untuk menilai efektivitas program dan evaluasi sumatife berfungsi untuk menentukan kedudukan setiap siswa dalam penguasaan materi pelajaran.

Model Dick and Carey terdiri dari 10 langkah. Setiap langkah sangat jelas maksud dan tujuannya sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk mempelajari model desain yang lain. Kesepuluh langkah pada Model Dick and Carey menunjukkan hubungan yang sangat jelas dan tidak terputus antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya. Dengan kata lain, sistem yang terdapat pada Model Dick and Carey sangat ringkas, namun isinya padat dan jelas dari satu urutan ke urutan berikutnya.

2. Langkah-langkah Penelitian Pengembangan Dick Carey

Model Dick & Carey banyak di jumpai di banyak buku teks yang beredar di Indonesia. Model penelitian dan pengembangan yang dirancang oleh Dick & Carey saat ini merupakan salah satu model yang sering dipakai dalam penelitian dan pengembangan secara luas. Dalam model tersebut terdiri atas sepuluh langkah. Terdapat perbedaan istilah yang digunakan antara Model Dick & Carey 1978 dengan model yang terdapat dalam bukunya terbitan tahun 2009.[1] Meskipun demikian banyaknya langkah atau komponen Model Dick & Carey 1978 sama dengan Model Dick & Carey 2009 hanya terdapat beberapa perbedaan istilah saja.

Berikut merupakan bentuk alur prosedural dan pengelompokan tahapan prosedural pengembangan berdasarkan Instructional Design Dick, Carey, dan Carey

2011-01-15_1600

Gambar Model Pengembangan Dick,Carey, and Carey

Secara singkat berikut penjelasan mengenai langkah-langkah Model Penelitian Pengembangan Dick & Carey :

  1. Analisis Kebutuhan dan Tujuan (Identity Instructional Goal (s)).

Melakukan analisis kebutuhan untuk menentukan tujuan program atau produk yang akan dikembangkan. Kegiatan analis kebutuhan ini peneliti mengidentifikasi kebutuhan prioritas yang segera perlu dipenuhi. Dengan mengkaji kebutuhan, pengembang akan mengetahui adanya suatu keadaan yang seharusnya ada (what should be) dan keadaan nyata atau riil di lapangan yang sebenarnya (what is). Dengan  cara “melihat” kesenjangan atau gap yang terjadi, pengembangan mencoba menawarkan suatu alternatif pemecahan dengan cara mengembangkan suatu produk atau desain tertentu. Tentu saja, rencana yang akan dilakukan itu dilandasi dari segi teori dan kajian empiris yang sudah ada sebelumnya, bahwa hal tersebut memang patut atau layak dilakukan atau diadakan pengkajian lebih luas lagi. Dengan kata lain, bahwa berdasarkan analisis ini pula, pengembangan mengetengahkan suatu persoalan atau kesenjangan dan sekaligus menawarkan solusinya.

  1. Melakukan Analisis Instruksional (Conduct Instructional Analysis).

Apabila yang dipilih adalah latar pembelajaran, maka langkah berikutnya pengembangan melakukan analisis pembelajaran, yang mencakup ketrampilan, proses, prosedur, dan tugas-tugas belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal-hal apa saja yang menjadi kebutuhan yang dirasakan “felt need”, perlu diidentifikasi dan selanjutnya diungkapkan dalam rancangan produk atau desain yang ingin dikembangkan. Ini menjadi spesifikasi suatu produk atau desain yang akan dikembangkan lebih lanjut dan memiliki kekhasan tersendiri.

  1. Analisis Pembelajar dan Konteks (Analyze Learners and Contexts).

Analisis ini bisa dilakukan secara simultan bersamaan dengan analisis pembelajaran di atas, atau dilakukan setelah analisis pembelajaran. Menganalis pembelajar dan konteks, yang mencakup kemampuan, sikap, karakteristik awal pembelajar dalam latar pembelajaran. Dan juga termasuk karakteristik latar pembelajaran tersebut di mana pengetahuan dan keterampilan baru akan digunakan untuk merancang strategi instrusional.

  1. Merumuskan Tujuan Performasi (Write Performance Objectives).

Merumuskan tujaun performasi atau untuk kerja dilakukan setelah analisis-analisis pembelajar dan konteks. Merumuskan tujuan untuk kerja, atau operasional. Gambaran rumusan oprasional ini mencerminkan tujuan khusus program atau produk, prosedur yang dikembangkan. Tujuan ini secara spesifik memberikan informasi untuk mengembangkan butir-butir tes. Pengembang melakukan penerjemahan tujuan umum atau dari standar kompetensi yang telah ada ke dalam tujuan khusus yang lebih operasional dengan indikator-indikator tertentu.

  1. Mengembangkan Instrumen (Develop Assesment Instruments).

Langkah berikutnya adalah mengembangkan instrumen assessment, yang secara langsung berkaitan dengan tujuan khusus, operasional. Tugas mengembangkan instrumen ini menjadi sangat penting. Karena instrumen dalam hal ini bisa berkaitan langsung dengan tujuan operasional yang ingin dicapai berdasarkan indikator-indikator tertentu, dan juga instrumen untuk mengukur perangkat produk atau desain yang dikembangkan. Instrumen yang berkaitan dengan tujuan khusus berupa tes hasil belajar, sedangkan instrumen yang berkaitan dengan perangkat produk atau desain yang dikembangkan dapat berupa kuesioner atau daftar cek.

  1. Mengembangkan Strategi Instruksional (Develop Instructional Strategy).

Mengembangkan strategi instruksional, yang secara spesifik untuk membantu pembelajar untuk mencapai tujuan khusus. Strategi instruksional tertentu yang dirancang khusus untuk mencapai tujuan dinyatakan secara eksplisit oleh pengembang. Strategi pembelajaran yang dirancang ini juga berkaitan dengan produk atau desain yang ingin dikembangkan. Sebagai contoh, apabila pengembang ingin membuat produk media gambar, maka strategi apa yang dipakai untuk membuat mempresentasikan media gambar tersebut. Apabila pengembang ingin mengembangkan suatu desain pembelajaran tertentu, maka strategi apa yang cocok dan dipilih untuk menunjang desain tersebut. Jadi dengan pendek kata, peranan strategi tetap sangat penting dalam kaitannya dengan proses pengembangan yang ingin dilakukan.

  1. Mengembangkan dan Memilih Material Instruksional (Develop and Select Instructional Materials).

Langkah ini merupakan kegiatan nyata yang dilakukan oleh pengembang. Mengembangkan dan memilih bahan pembelajaran, yang dalam hal ini dapat berupa : bahan cetak, manual baik untuk pebelajar maupun pembelajarn, dan media lain yang dirancang untuk mendukung pencapaian tujuan. Produk atau desain yang dikembangkan berdasarkan tipe, jenis, dan model tertentu perlu diberikan argumen atau alasan mengapa memilih dan mengembangkan berdasarkan tipe atau model tersebut. Alasan memilih tipe atau model tersebut biasanya dikemukakan dalam subbagian model pengembangan.

  1. Merancang dan Melakukan Evaluasi Formatif (Design and Conduct Formative Evaluation of Instruction).

Merancang dan melakukan evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang dilaksanakan oleh pengembang selama proses, prosedur, program atau produk dikembangkan. Atau, evaluasi formatif ini dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan maksud untuk mendukung proses peningkatan efektivitas.

Dalam kondisi tertentu, pengembang cukup sampai pada langkah ini Dick & Carey merekomendasikan suatu proses evaluasi formatif yang terdiri dari tiga langkah :

  1. Uji coba prototipe bahan secara perorangan (one-to-one trying out) ; uji coba perorangan ini dilakukan untuk memperoleh masukan awal tentang produk atau rancangan tertentu. Uji coba perorangan dilakukan kepada subjek 1-3 orang. Setelah itu dilakukan uji coba perorangan, produk, atau rancangan revisi.
  2. Uji coba kelompok kecil (small group tryout). Uji coba ini melibatkan subjek yang terdiri atas 6-8 subjek. Hasil uji coba kelompok kecil ini dipakai untuk melakukan revisi produk atau rancangan.
  3. Uji coba lapangan (field tryout). Uji coba ini melibatkan subjek dalam kelas yang lebih besar yakni sekitar 15-30 subjek (a whole class of learners).

Selama uji coba ini, pengembang melakukan observasi dan wawancara. Dengan demikian, pengembang melakukan pendekatan kualitatif disamping data kuantitatif (hasil tes, skala sikap, rubrik dan sebagainya). Hasil validasi dari langkah 8 inilah yang kemudian dipakai untuk melakukan revisi di langkah selanjutnya.

  1. Melakukan Revisi Instruksional (Revise Instruction).

Revisi dilakuakn terhadap proses (pembelajaran), prosedur, program, atau produk yang dikaitkan dengan langkah-langkah sebelumnya. Revisi dilakukan  terhadap tujuh langkah pertama yaitu mulai dari : tujuan umum pembelajaran, analisis pembelajaran, perilaku awal, tujuan unjuk kerja atau performansi, butir tes, strategi pembelajaran dan/atau bahan-bahan pembelajaran. Strategi instruksional ditinjau kembali dan akhirnya semua pertimbangan ini dimasukkan ke dalam revisi instruksional untuk membuatnya menjadi alat instruksional yang lebih efektif.

  1. Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif (Design and Conduct Summative Evaluation).

Hasil-hasil pada tahap revisi instruksional dijadikan dasar untuk menulis perangkat yang dibutuhkan. Hasil perangkat tersebut selanjutnya divalidasi dan diujicobakan atau diimplementasikan di kelas dengan evaluasi sumatif. Setelah suatu produk, program atau proses pengembangan selesai dikembangkan, langkah berikutnya melakukan evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan tingkat efektivitas produk, program, atau proses secara keseluruhan dibandingkan dengan program lain.

Untuk keperluan pengembangan ini biasanya peneliti hanya menggunakan sampai langkah kesembilan, yakni evaluasi formatif di mana rancangan, proses, atau program sudah dianggap selesai. Akan tetapi, untuk keperluan uji efektivitas rancangan, proses, dan program secara menyeluruh diperlukan uji atau evaluasi secara eksternal. Dengan demikian, diperoleh tingkat efisiensi, efektiviras dan daya tarik rancangan, proses dan program secara menyeluru

3. Kekurangan dan Kelebihan Penelitian Pengembangan Dick Carey

Kelebihan Model Dick Carey

Dengan melihat langkah-langkah yang telah disebutkan , maka dapat kita lihat bahwa model Dick and Carey ini merupakan tahapan prosedural, dari tahapan prosedural semacam ini dapat dilihat beberapa kelebihan dari model ini diantaranya :

  1. Setiap langkah jelas dan mudah diikuti. Tahapan-tahapan model ini merupakan tahapan logis sederhana, artinya desain ini merupakan arah dan cara berpikir dari kebanyakan orang untuk mencapai suatu tujuan atau program.
  2. Teratur, efektif, dan efisien.Langkah-langkah yang dijelaskan tiap tahap akan menghindarkan desainer dari multitafsir, sehingga setiap desainer akan melewati urutan yang sama. Bandingkan dengan model sirkular, yang memungkinkan desainer memilih langkah yang mungkin. Selain itu, karena telah terperinci urutannya, model ini menjadi satu arah, jelas, dan efektif.
  3. Walaupun secara tahapan, merupakan tahapan prosedur, akan tetapi pada model ini masih menyediakan ruang perbaikan yaitu pada langkah ke-9. Adanya revisi pada analisis pembelajaran, memungkinkan perbaikan apabila terjadi kesalahan dan dapat segera dapat dilakukan perubahan pada analisis instruksional tersebut, sebelum kesalahan didalamnya ikut mempengaruhi kesalahan pada komponen setelahnya.
  4. Model Dick and Carey sangat sesuai untuk design pembelajaran, bahkan Gall menyebutkan bahwa tak hanya cocok digunakan untuk design pembelajaran namun juga untuk penelitian pendidikan secara umum.
  5. Model Dick and Carey diacu sebagai model teoretis mandiri dalam ranah disiplin desain pembelajaran dan menjadi salah satu model pengembangan dalam Research and Development (R&D).
  6. Model Dick and Carey relatif sederhana, namun tahapan dan komponen yang dikembangkan rinci
  7. Setiap langkah model Dick and Carey adalah suatu prosedur yang sangat sistematis bila dibandingkan dengan model-model instructional lainnya. Mulai dari tahap awal pengembangan sampai kepada desiminasi produk yang dikembangkan dengan melakukan proses perbaikan yang berlangsung secara terus-menerus hingga target (standar kualitas) produk yang dikembangkan tercapai, yaitu efektif, efisien dan berkualitas.

Kelemahan Model Dick Carey

Walaupun model pembelajaran Dick and Carey ini terlihat sangat sistematis, logis, dan sederhana, akan tetapi kita dapat melihat beberapa kekurangan, diantaranya adalah :

  1. Desain ini merupakan desain prosedural, artinya desainer harus melewati tahapan-tahapan yang ditentukan, sehingga model desain pembelajaran Dick dan Carey terkesan kaku, karena setiap langkah telah di tentukan
  2. Desain Model ini merupakan desain yang matang, artinya tidak menyediakan ruang untuk uji coba dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah diadakan tes formatif.
  3. Jika pembelajaran menggunakan basis internet dan model interaktif, dimana guru tidak bertemu langsung dengan siswa-siswanya, kecuali interaksi dengan satu atau dua orang siswa. Model ini akan mengalami kesulitan, terutama ketika harus menganalisis karakteristik siswa.
  4. Pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran tidak nampak secara jelas ada tidaknya penilaian pakar (validasi).

DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta

Walter Dick, Lou Carey. 2001. The Systemic Design of Instruction. United State: Addison-Wesley Educational Publishers Inc

Wina Sanjaya. 2013. Perencanaan dan Designe Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group